Testimoni Dwi Hastuti, S.Pd.: Mengembangkan Kecerdasan Emosional dalam Proses Belajar di SMAN 8 Semarang
Nama saya Dwi Hastuti, S.Pd., dan saya mengajar di SMAN 8 Semarang. Baru-baru ini, saya memutuskan untuk mengikuti diklat yang berfokus pada pengembangan kecerdasan emosional, dan keputusan ini datang dari kesadaran bahwa tantangan di kelas saat ini tidak hanya berkaitan dengan akademik, tetapi juga dengan kondisi emosional dan sosial siswa. Banyak siswa yang terlihat sulit berkonsentrasi, mudah marah, atau bahkan menarik diri dari interaksi. Saya merasa belum sepenuhnya memahami cara terbaik untuk mendampingi mereka secara emosional.
Selama mengikuti diklat, saya belajar bahwa dengan memahami kondisi emosional siswa, saya dapat menyesuaikan pendekatan mengajar saya. Misalnya, pada hari-hari tertentu, saya mengadopsi pendekatan yang lebih santai, memberi waktu istirahat sejenak, atau sekadar mendengarkan cerita mereka. Dari pengalaman ini, saya menyadari betapa pentingnya mengenali dan menghargai emosi siswa. Ini berdampak besar pada kenyamanan mereka dalam belajar, dan menjadi titik awal bagi saya untuk menerapkan pendekatan yang lebih empatik dan humanis di kelas.
Salah satu momen yang paling berkesan selama diklat adalah ketika kami diminta untuk melakukan simulasi peran antara guru dan siswa dalam situasi emosional yang sulit. Dalam simulasi tersebut, saya berperan sebagai guru yang menghadapi siswa yang tampak marah dan tidak mau bekerja sama. Pengalaman ini sangat mencerahkan dan memberikan saya wawasan baru tentang bagaimana perilaku siswa sering kali dipengaruhi oleh emosi yang tidak terungkap.
Melalui berbagai strategi yang saya pelajari, seperti mendengarkan aktif, validasi emosi, serta membangun komunikasi yang aman dan terbuka, saya merasa lebih mampu menjalin hubungan yang positif dengan siswa. Saya menjadi lebih sabar dan menyadari bahwa di balik perilaku siswa, sering kali terdapat emosi yang belum tersampaikan. Perubahan ini membuat saya tidak cepat bereaksi dengan emosi negatif saat menghadapi siswa yang sulit, melainkan mencoba memahami dan mendampingi mereka secara emosional.
Keberhasilan dalam membangun hubungan yang sehat dan penuh empati dengan siswa telah membantu saya tumbuh tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik yang lebih peka. Saya belajar bahwa pembelajaran yang efektif tidak hanya bergantung pada materi, tetapi juga pada hubungan emosional yang sehat antara guru dan siswa. Dari pengalaman ini, saya merasa bertumbuh menjadi pribadi yang lebih tenang, dewasa, dan mampu menjadi teladan dalam mengelola emosi, baik untuk diri saya sendiri maupun untuk siswa saya.
Leave a Comment