Testimoni Prihatina Hikmasari, S.Pd: Membangun Kecerdasan Emosional di SMAN 8 Semarang
Nama saya Prihatina Hikmasari, S.Pd, dan saya merupakan seorang guru di SMAN 8 Semarang. Dalam perjalanan karier saya sebagai pendidik, saya selalu berkeinginan untuk lebih dari sekadar mengajar. Saya ingin membangun hubungan yang positif dan penuh empati dengan siswa. Saya percaya bahwa kecerdasan emosional adalah fondasi penting dalam keberhasilan belajar dan pembentukan karakter anak, dan itulah yang mendorong saya untuk mengikuti diklat ini.
Dari pelatihan yang saya ikuti, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk membantu siswa tumbuh secara utuh, baik secara kognitif maupun emosional. Saya menyadari bahwa dengan memahami kondisi emosional siswa, saya bisa menyesuaikan pendekatan mengajar pada hari itu, apakah itu dengan lebih santai, memberi waktu istirahat sejenak, atau sekadar mendengarkan cerita mereka. Pengalaman ini membuat saya menyadari bahwa mengenali dan menghargai emosi siswa sangat berpengaruh terhadap kenyamanan mereka dalam belajar. Ini menjadi titik awal bagi saya untuk terus menerapkan pendekatan yang lebih empatik dan humanis di kelas.
Pada suatu kesempatan, saya mengalami kesulitan menahan reaksi spontan untuk menegur atau memberi hukuman kepada siswa. Namun, setelah saya mencoba pendekatan yang saya pelajari—seperti mendengarkan aktif, validasi emosi, dan memberi ruang bagi siswa untuk menenangkan diri—saya melihat bagaimana suasana kelas bisa berubah hanya karena pendekatan yang lebih tenang dan empatik. Saya menyadari bahwa banyak siswa sebenarnya hanya butuh didengar dan dipahami, bukan dihakimi.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa membangun kecerdasan emosional, baik pada siswa maupun diri sendiri sebagai guru, adalah kunci terciptanya pembelajaran yang sehat dan bermakna. Kegiatan mengembangkan kecerdasan emosional siswa telah membantu saya tumbuh tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik yang lebih peka dan empatik.
Melalui strategi yang saya pelajari, seperti mendengarkan aktif dan membangun komunikasi yang aman dan terbuka, saya merasa lebih mampu menjalin hubungan positif dengan siswa. Saya menjadi lebih sabar dan memahami bahwa di balik perilaku setiap siswa sering kali ada emosi yang belum tersampaikan. Hal ini membuat saya lebih reflektif dalam mengajar dan menyadari bahwa pembelajaran yang efektif tidak hanya bergantung pada materi, tetapi juga pada hubungan emosional yang sehat antara guru dan siswa.
Akhirnya, saya merasa bahwa saya telah bertumbuh menjadi pribadi yang lebih tenang, dewasa, dan mampu menjadi teladan dalam mengelola emosi—baik untuk diri saya sendiri maupun untuk siswa saya. Kecerdasan emosional bukan hanya menjadi bagian dari pengajaran saya, tetapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari saya sebagai pendidik.
Leave a Comment